KONSEP DIRI DAN ISLAM
DALAM PENCARIAN IDENTITAS DIRI PADA REMAJA
Rosdiana Rusdi
Program Studi Ilmu Keperawatan Fakultas Ilmu
Kesehatan
UIN Alauddin
Makassar
Abstrak
self-concept
is a basic concept that nurses need to know to understand the behavior and the
client's view of itself and its environment. Individual response to the
stimulus or stressessor can be analyzed from various components of self concept
so that nurses can plan of care and quality sharper. The concept of self is the
way individuals view themselves as a whole either physically, emotionally, intellectually,
socially and spiritually. The main dimensions of the concept of self is what we
know about ourselves. Usually this involves things that are basic. Self-concept
is closely associated with the individual, self-concept is also related to aspects
of religion, as a guide in the search for identity and as a means of socializing
among individuals. On the search for identity in adolescence, self concept is
also very instrumental in the formation of the teenage characters.
Key
words:
self-concept, self-concept components, aspects
of religion, adolescence.
konsep
diri merupakan konsep dasar yang perlu diketahui perawat untuk mengerti prilaku
dan pandangan klien terhadap dirinya serta lingkungannya. Respon individu
terhadap stimulus atau stressessor dapat dianalisa dari berbagai komponen
konsep diri sehingga perawat dapat merencanakan asuhan yang lebih tajam dan
berkualitas. Konsep diri adalah cara individu memandang dirinya secara utuh
baik fisikal, emosional, intelektual, sosial maupun spiritual.
Dimensi
utama dari konsep diri adalah apa yang kita ketahui tentang diri kita. Biasanya
hal ini menyangkut hal-hal yang bersifat dasar.
Konsep
diri sangat erat kaitannya dengan diri individu , konsep diri juga berkaitan
dengan aspek agama, sebagai pedoman dalam mencari jati diri dan sebagai sarana
bersosialisasi antar individu.
Pada
masa pencarian jati diri pada remaja, konsep diri juga sangat berperan penting
dalam pembentukan karakter remaja tersebut.
Kata
kunci: konsep diri, komponen konsep diri, aspek agama, masa remaja.
A. Latar Belakang
Tuhan menciptakan setiap manusia dengan ciri khasnya
masing-masing. Manusia tidak ada yang sama persis di dunia ini walaupun dengan
saudara kembarnya sendiri. Manusia kembar memiliki wajah yang sama seperti
hanya kembar identik, namun kepribadian, kemampuan dalam mengatur orientasi
hidup dan lain-lain pasti ada perbedaannya.
Identitas jelas diperlukan individu agar dapat
menjalankan kehidupannya. Individu yang tidak memiliki pemahaman baik mengenai
dirinya, akan lebih besar kemungkinannya hidup dalam ketidakpastian serta tidak
mampu menyadari keunggulan maupun kekurangan yang ada pada dirinya. Individu
tersbut akan menjadi individu yang tidak percaya diri dan tidak memiliki
kebanggaan pada dirinya sendiri.
Charles Horton Cooley
(1864-1929), mengatakan bahwa kita dapat mempersepsi diri sendiri dengan
berperan sebagai subjek dan objek persepsi sekaligus. Bagaimana boleh terjadi?
Kita melakukannya dengan membayangkan diri kita sebagai orang lain; dalam benak
kita. Cooley menyebut gejala ini dengan looking-glass
self (diri cermin); seakan-akan kita menaruh cermin didepan kita. Pertama,
kita membayangkan bagaimana kita tampak oleh orang lain; kita melihat sekilas
diri kita seperti dalam cermin. Misalnya, kita merasa wajah kita jelek. Kedua,
kita membayangkan bagaimana orang lain menilai penampilan kita. Kita fikir
mereka menganggap diri kita tidak menarik. Ketiga, kita mengalami perasaan
bangga atau keewa, mungkin juga merasa sedih atau malu. Ini sejalan dengan
pandangan William James yang membedakan antara The I,diri yang sadar dan aktif,
dan The me, diri yang menjadi objek renungan kita.
Dengan
mengamati diri kita, sampailah kita pada gambaran dan penilaian diri kita. Ini
disebut konsep diri (self-concept).
Remaja pada dasarnya merupakan hasil konstruksi
sosial untuk menggambarkan periode antara masa anak-anak dan dewasa yang cukup memungkinkan
untuk dianalisis tersendiri karena memiliki karakteristik
perkembangan
yang unik. Terutama adanya interaksi antara perubahan biologis yang pesat,
perubahan status sosial dari anak-anak ke dewasa serta sejumlah perubahan
kognitif.
Perkembangan
remaja berfokus pada usaha untuk mengarahkan perilaku yang kekanak-kanakan
menuju persiapan menghadapi kedewasaan. Remaja diharapkan mulai mengurangi
ketergantungan secara perlahan dari orang tua maupun teman sebaya, serta
mengembangkan sikap dan perilaku yang lebih mandiri. (Mulyono, 2007:14-15)
Masa remaja adalah waktu dimana berbagai kesempata
sekaligus resiko datang. Remaja berada dalam ambang cinta, pekerjaan untuk
menghidupi dirinya dan keikutsertaan dalam lingkungan orang dewasa. Akan
tetapi, masa remaja juga masa dimana beberapa remaja terlibat perilaku yang
menutup berbagai pilihan dan membatasi peluang mereka.
B. Tujuan Penulisan
Adapun tujuan penulisan jurnal ini
agar dapat memberikan wawasan tentang pencarian jati diri khususnya para kaum
remaja dimana saat remaja merupakan masa pencarian identitas diri yang paling
penting. Tentu saja dalam mencari identitas diri remaja juga membutuhkan pengetahuan
agama yang akan menjadi pedoman.
C. Tinjauan Pustaka
Konsep diri adalah semua
ide, pikiran, kepercayaan dan pendirian yang diketahui individu tentang dirinya
dan mempengaruhi individu dalam berhubungan dengan orang lain (Stuart dan
Sudeen, 1998). Hal ini temasuk persepsi individu akan sifat dan kemampuannya,
interaksi dengan orang lain dan lingkungan, nilai-nilai yang berkaitan dengan
pengalaman dan objek, tujuan serta keinginannya. Sedangkan menurut Beck,
Willian dan Rawlin (1986) menyatakan bahwa konsep diri adalah cara individu
memandang dirinya secara utuh, baik fisikal, emosional intelektual , sosial dan
spiritual.
( Salbiah, 2003)
Konsep
diri telah melalui sejarah perkembangan yang cukup panjang, yang meliputi:
1)Model terdahulu yang berisikan tentang riset tentang konsep diri general
daripada menempatkan konsep diri sebagai sesuatu yang terdiri dari banyak segi
(multifaceted). Jadi dalam sejarahnya, konsep diri dianggap sebagai
suatu konstruk yang unidimensi; 2) Model Shavelson yang berisikan tentang model
konsep diri yang bersifat terorganisasi atau terstruktur, terdiri dari banyak
segi (multi-faceted), bersifat hierarkis (dalam hierarki terdapat puncak
yang stabil, namun untuk hierarki di bawahnya menjadi kurang stabil sebagai
konsekuensi adanya konsep diri pada suatu situasi yang spesifik), bersifat
evaluatif maupun deskriptif, dan berbeda dari konstruk yang lain; dan 3) Model
Shavelson dan Marsh yang berisikan tentang model Internal dan Eksternal (model
I/E) dalam konsep diri. ( Widodo, 2006:3)
Konsep
diri merupakan hasil dari aktivitas pengeksplorasian dan pengalamannya dengan
tubuhnya sendiri. Konsep diri dipelajari melalui pengalaman pribadi setiap
individu, hubungn dengan orang lain dan interaksi dengan dunia diluar dirinya. (Suliswati,:90)
Konsep diri mempunyai peranan
penting dalam menentukan perilaku individu. Bagaimana individu memandang
dirinya akan tampak dari seluruh perilaku. Dengan kata lain, perilaku individu
akan sesuai dengan cara individu memandang dirinya sendiri. Ada tiga alasan
penting yang dapat menjelaskan peranan penting konsep diri dalam menentukan perilaku.
Pertama, konsep diri mempunyai peranan
dalam mempertahankan keselarasan (inner consistency). Alasan ini
berpangkal dari pendapat bahwa pada dasarnya individu berusaha mempertahankan
keselarasan batinnya.
Kedua, seluruh sikap dan pandangan
individu terhadap dirinya sangat mempengaruhi individu tersebut dalam
menafsirkan pengalamannya.
Ketiga, konsep diri menentukan
pengharapan individu. Menurut beberapa ahli, pengharapan ini merupakan inti
dari konsep diri. Seperti yang dikemukakan oleh McCandless (1970) bahwa konsep
diri merupakan seperangkat harapan serta penilaian perilaku yang merujuk kepada
harapan-harapan tersebut.
Diri pribadi memiliki
tiga komponen diri moral-etika,
konsistensi diri, dan ideal diri atau diri-harapan.
(1) diri etika moral
yang dievaluasi yang individu. komponen ini
melibatkan nilai-nilai yang dipegang oleh individu. itu mengevaluasi keinginan
relatif persepsi dan
membandingkannya dengan nilai diadakan.
(2) konsistensi diri adalah komponen yang berusaha untuk
mempertahankan citra diri yang stabil.
(3) Self-ideal berhubungan dengan
harapan seseorang menjadi dan melakukan. (Kozier,1983:837).
KOMPONEN KONSEP DIRI
Konsep diri dapat
digambarkan dalam istilah rentang dari kuat sampai lemah atau dari positif
sampai negatif, bergantung pada kekuatan individu dari komponen-komponen konsep
dirinya. (Potter dan Perry, :500)
Ada dua komponen
konsep diri: komponen kognitif dan komponen afektif. Dalam psikologi sosial
komponen kognitif itu disebut citra diri
(self-image), dan komponen afektif disebut harga
diri (self-esteem). Keduanya , menurut William D. Brooks dan Philip Emmert,
berpengaruh besar pada pola komunikasi interpersonal. Konsep diri juga
berpengaruh pada hubungan sosial dan hidup bermasyarakat. ((Rakhmat, 1993: 99-100)
1.
Identitas
Identitas diri
adalah kesadaran individu untuk menmpatkan diri dan memberi arti pada dirinya
sebagai seorang pribadi yang unik, memiliki keyakinan yang relatif stabil,
serta memiliki peran penting dalam konteks kehidupan bermasyarakat. (Ristianti,
2008:6)
Identitas
mencakup rasa internal tentang individualitas, keutuhan, dan konsistensi dari
seseorang sepanjang waktu dan dalam berbagai situasi.
Identitas
menunjukkan menjadi lain dan terpisah dari orang lain, namun menjadi diri yang
utuh dan unik. (Potter dan Perry, 2005:500)
Seseorang yang
mempunyai perasaan identitas diri yang kuat akan memandang dirinya berbeda
dengan orang lain. Kemandirian timbul dari perasaan berharga (aspek diri
sendiri), kemampuan dan penyesuaian diri. (Salbiah, 2003:8)
2.
Citra tubuh
Citra tubuh
membentuk persepsi seseorang tentang tubuh, baik secara internal. Persepsi ini
mencakup perasaan dan sikap yang ditujukan pada tubuh.
Citra tubuh
dipengaruhi oleh pandangan pribadi tentang karakteristik dan kemampuan fisik
dan persepsi dari pandangan orang lain.
3.
Harga diri
Harga diri
berdasarkan pada faktor internal dan eksternal. Harga diri atau rasa kita
tengtang nilai-diri, rasa ini adalah suatu evaluasi dimana seseorang membuat
atau mempertahankan diri. (Potter dan Perry, 2005:500)
Frekuensi
pencapaian tujuan akan menghasilkan harga diri yang rendah atau harga diri yang
tinggi. Jika individu sering gagal , maka cenderung harga diri rendah. Harga
diri diperoleh dari diri sendiri dan orang lain. Aspek utama adalah di cintai dan
menerima penghargaan dari orang lain.
Biasanya harga
diri sangat rentan terganggu pada saat remaja dan usia lanjut. Dari hasil riset
ditemukan bahwa masalah kesehatan fisik mengakibatkan harga diri rendah. ( Salbiah, 2003)
4.
Peran
Peran mencakup
harapan atau standar perilaku yang telah diterima oleh keluarga, komunitas dan
kultur. Perilaku didasarkan pada pola yang ditetapkan melalui
sosialisasi.(Potter dan Perry, 2005:501)
PERKEMBANGAN
KONSEP DIRI PADA REMAJA
Konsep diri bukan merupakan faktor yang dibawa sejak lahir, melainkan
faktor yang dipelajari dan terbentuk melalui pengalaman individu dalam
berhubungan dengan orang lain. Dalam berinteraksi ini setiap individu akan
menerima tanggapan. Tanggapan yang diterima tersebut akan dijadikan cermin bagi
individu untuk menilai dan memandang dirinya sendiri, terutama didasarkan
tanggapan orang penting dalam hidup anak, yaitu orang tua, guru, dan teman
sebaya mereka. Jadi konsp diri terbentuk dari suatu proses umpan balik dari
individu lain.
Perkembangan konsep diri adalah proses sepanjang
hidup Setiap tahap perkembangan
mempunyai aktivitas spesifik yang membantu individu dalam mengembangkan konsep
diri yang positif. (Potter dan Perry, 2005:506)
Proses
pembentukan konsep diri dimulai sejak masih kecil. Masa kristis pembentukan
konsep diri adalah saat anak masuk sekolah dasar. Mengutip pendapat Glasser,
seorang pakar pendidikan dari Amerika, Adi Gunawan menyatakan bahwa lima tahun
pertama di SD akan menentukan “nasib” anak selanjutnya. Pendapat ini sejalan
dengan apa yang dikemukakan Jacinta F. Rini. Ia berpendapat, konsep diri
terbentuk melalui proses belajar sejak masa pertumbuhan seseorang manusia dari
kecil hingga dewasa. Lingkungan, pengalaman dan pola asuh orang tua turut
memberikan pengaruh yang signifikan terhadap konsep diri yang terbentuk. Sikap
atau respon orang tua dan lingkungan akan menjadi bahan informasi bagi anak
untuk menilai siapa dirinya. (Melanie, 2007:68)
Salah satu
periode dalam rentang kehidupan individu adalah masa (fase) remaja. Masa ini
merupakan segmen kehidupan yang penting dalam siklus perkembangan individu, dan
merupakan masa transisi yang dapat diarahkan kepada perkembangan masa dewasa
yang sehat. (Yusuf, 2004:71)
Pada masa remaja peningkatan kapasitas intelektual,
faktor biologis, faktor sosial yang menimbulkan perubahan peran dan status ini
membuka perspektif kesadaran pada diri remaja tentang diri dan lingkungan
sekitarnya. Remaja mulai tertarik untuk mempertanyakan kehidupannya di masa
lalu, apa yang sebenarnya dilakukan sekarang, apa peranannya, ingin menjadi
seperti apa, dan apa yang ingin diraih di masa yang akan datang. Remaja mulai
mengembangkan konsep dan ide-ide yang berbeda daripada yang dikemukakan oleh
orang tua, guru, maupun orang dewasa di sekitarnya. Remaja mulai mengedepankan penegasan
pendapat pribadinya dan sebisa mungkin melepaskan pengaruh orang dewasa, namun
pada saat yang sama remaja masih mempertahankan identitas dirinya terhadap
kelompok sebaya. Para remaja lebih banyak terlibat proses pengambilan keputusan
diantara pilihan-pilihan yang penting dalam hidupnya. Keputusan-keputusan
selama masa remaja mulai membentuk inti tentang bagaimana individu menunjukkan
keberadaanya sebagai manusia-konsep yang disebut para ahli sebagai identitas
diri. (Multono, 2007:6)
PENCARIAN IDENTITAS
DIRI PADA REMAJA
Masa remaja merupakan masa yang
kritis dalam siklus perkembangan seseorang. Di masa ini banyak terjadi
perubahan dalam diri seseorang sebagai persiapan memasuki masa dewasa. Remaja
tidak dapat dikatakan lagi sebagai anak kecil, namun ia juga belum dapat
dikatakan sebagai orang dewasa. Hal ini terjadi oleh karena di masa ini penuh
dengan gejolak perubahan baik perubahan biologik, psikologik, maupun perubahan
sosial. Dalam keadaan ‘serba tanggung’ ini seringkali memicu terjadinya konflik
antara remaja dengan dirinya sendiri (konflik internal), maupun konflik
lingkungan sekitarnya (konflik eksternal). Apabila konflik ini tidak
diselesaikan dengan baik maka akan memberikan dampak negatif terhadap
perkembangan remaja tersebut di masa mendatang, terutama terhadap pematangan
karakternya dan tidak jarang memicu terjadinya gangguan mental.
(IDAI, 2009)
Erikson berpendapat bahwa remaja merupakan masa
berkembangnya identity. Identity merupakan vocal point dari pengalaman remaja, karena semua krisis normatif
yang sebelumnya telah memberikan konstribusi kepada perkembangan identitas.
Erikson memandang pengalaman hidup remaja berada dalam keadaan moratorium, yaitu suatu periode saat
remaja diharapkan mampu mempersiapkan dirinya untuk masa depan, dan mampu
menjawab pertanyaan siapa saya?. Dia
mengingat bahwa kegagalan remaja untuk mengisi atau menuntaskan tugas ini akan
berdampak tidak baik bagi perkembangan dirinya.
Apabila remaja gagal dalam mengembangkan rasa
identitasnya, maka remaja akan kehilangan arah, bagaikan kapal kehilangan
kompas. Dampaknya, mereka mungkin akan mengembangkan prilaku yang menyimpang,
melakukan kriminalitas, atau menutup diri (mengisolasi diri) dari masyarakat.
Anita E. Woolfolk mengartikan identity, sebagai “suatu yang pengorganisasian dorongan-dorongan (drives),kemampuan-kemampuan(abilities), keyakinan-keyakinan (beliefs) dan pengalaman individu ke
dalam citra tubuh (body image) yang
konsisten”. Upaya pengorganisasian ini melibakan kemampuan untuk melibatkan
pilihan, dan mengambil keputusan, terutama yang menyangkut pekerjaan, orientasi
seksual, dan falsafah kehidupan. Kegagalan mengintegrasikan semua aspej ini
atau kesulitan untuk melaukukan pilihan, maka remaja akan mengalami keracunan
peran (role confusion). ( Yusuf,
2004: 71-72)
Perkembangan
konsep diri dan citra tubuh sangat berkaitan erat dengan pembentukan identitas.
Pengamatan dini mempunyai efek penting. Pengalaman yang positif pada masa
kanak-kanak memberdayakan remaja untuk merasa baik tentang diri mereka.
Pengalaman negatif sebagai anak dapat mengakibatkan konsep diri yang buruk.
Anak-anak yang memasuki masa remaja dengan perasaan negatif menghadapi periode
yang sulit ini bahkan lebih menyulitkan lagi. .(Potter dan Perry, 2005:508)
Proses integrasi pengalaman-pengalaman
ke dalam kepribadian yang makin lama makin menjadi dewasa disebut proses
pembentukan identitas diri.
Penting sekali diusahakan agar remaja dapat
menentukan sendiri identitas dirinya dan berangsur-angsur melepaskan
identifikasinya terhadap orang lain untuk akhirnya menjadi dirinya sendiri.
(Sarwono, 1982:90)
Pencarian identitas yang didefenisikan
Erikson sebagai konsepsi koheren diri, terdiri dari tujuan, nilai dan keyakinan
yang dipercayai sepenuhnya oleh orang yang bersangkutan-menjadi fokus selama
masa remaja. Perkembangan kognitif remaja kini membuat mereka dapat
mengkontruksikan ‘teori diri’.seperti ditekankan oleh Erikson, usaha remaja
untuk memahami diri sendiri bukan merupakan “sejenis tekanan kedewasaan”. Hal
ini merupakan bagian dari kondisi yang
baik, proses penting yang berdasarkan pencapaian dari tahapan-tahapan
sebelumnya. (papalia, 2008:65-66)
Remaja selalu
mencari identitas diri guna menjelaskan dirinya dan apa peranannya. Tugas
penting yang dihadapi remaja ialah sense
of individual identity, yaitu mencari jawaban dari pertanyaan mengenai
dirinya, mencakup keputusan dan standar-standar tindakan. Mencari identitas dan
mengangkat harga diri akan membuat remaja memakai simbol status harga diri.
(Pieter, 2010:67)
Remaja harus
menyesuaikan diri terhadap tuntutan dirinya dan harapan lingkungan yang
mengakibatkan adanya perubahan pada kepribadiannya. Oleh karena itu remaja
terkadang merasa gelisah dan cemas. Lingkungan yang baru dan norma yang ada
pada lingkungan sering dirasa sebagai suatu keadaan yang menghambat remaja
dalam menyatakan dirinya secara wajar. Kondisi remaja yang seperti ini
mengakibatkan kegagalan dalam menyesuaikan diri dan pencapaian konsep diri
positif.
Sikap dan
pandangan individu terhadap seluruh keadaan dirinya merupakan pengertian konsep
diri. Remaja yang memiliki konsep diri positif akan mampu menghadapi tuntutan
dari dalam diri maupun dari luar dirinya. Sebaliknya remaja yang memiliki
konsep diri negatif kurang mempunyai keyakinan diri, merasa kurang yakin dengan
kepuasannya sendiri dan cenderung mengandalkan opini dari orang lain dalam
memutuskan sesuatu. (Psikologi, 2010)
ISLAM DAN
IDENTITAS DIRI REMAJA
Suatu
identitas perlu dikokohkan oleh nilai-nilai (values) serta prinsip
yang mendukungnya, sebab kalau tidak demikian, maka identitas tersebut hanya
akan bersifat artifisial dan tidak konsisten. Sebagai contoh, misalnya seorang
menyatakan bahwa identitas utamanya adalah Muslim, tetapi ia tidak memahami
nilai-nilai dan prinsip-prinsip Islam serta banyak melakukan hal-hal yang
bertentangan dengan agamanya. Oleh karena itu, membangun identitas diri pada
anak harus dilakukan dengan membangun nilai-nilai serta prinsip-prinsip yang
menopang tegaknya identitas tersebut.
Anak-anak
perlu dibangun identitasnya sejak kecil, baik di rumah maupun di sekolah,
sehingga ketika mereka memasuki usia baligh, mereka sudah memiliki identitas
diri yang kokoh dan tak lagi mudah terombang-ambing dalam hidup. Psikologi
Islam tentu merekomendasikan agama Islam sebagai identitas utama bagi setiap
orang. Dan karena itu, nilai-nilai serta prinsip-prinsip utama Islam perlu
dirumuskan dan ditanamkan secara bertahap pada anak. Jika proses penenaman dan
pewarisan nilai ini berjalan dengan baik, maka anak tidak akan lagi mengalami
krisis identitas saat memasuki usia belasan tahun.(Muthoin, 2010)
Konsep islam
meliputi dimensi esensi yang berupa keimanan, dimensi bentuk yang berupa ritual
wajib, dimensi ekspresi yang berupa tata hubungan antar manusia dan antar
makhluk. Ketiganya tidak dapat dipisahkan dalam kehidupan muslim dan membangun
konsep moralitasnya. (Zubair, 1997:108)
Upaya
pembentukan manusia yang utuh dan paripurna (al-insan al-kamil) tidak
mungkin dapat terwujud selama masih adanya kesenjangan yang serius dalam
aspek-aspek kedewasaan remaja. Kesenjangan ini bertentangan dengan pola
pertumbuhan natural manusia dan karenanya menimbulkan ketidaksehatan jiwa pada
diri remaja. Ketidaksehatan jiwa ini pada gilirannya menyebabkan terjadinya
ketidaksehatan sosial pada komunitas remaja dan lingkungannya. Prof. El-Quussy
menyatakan bahwa ”pendidikan yang tidak menuju ke arah menciptakan kesehatan
jiwa dianggap sebagai suatu perbuatan yang sia-sia, yang tidak ada gunanya.”
Oleh
karenanya, salah satu tugas penting Psikologi Islam sekarang ini dalam
pendidikan remaja adalah menghapuskan kesenjangan pada aspek kedewasaan remaja.
Jadwal kedewasaan biologis tidak mungkin dimundurkan waktunya, karena terjadi
secara alamiah. Oleh sebab itu, jadwal kedewasaan psikologis dan sosial-lah
yang perlu kembali dimajukan waktunya agar berdekatan dengan jadwal kedewasaan
biologis, sebagaimana yang selama ini dialami oleh remaja-remaja pada
masyarakat primitif dan pada masyarakat di masa lalu. Dimajukannya jadwal waktu
kedewasaan psikologis dan sosial lebih bersifat natural dan lebih menjamin
kesehatan jiwa dalam fase pertumbuhan remaja. (Muthoin, 2010)
Dalam kehidupan remaja selalu datang kebudayaan yang belum tentu positif
pengaruhnya bagi kehidupannya. Remaja yang selektif akan mempelajari dan
menerima kebudayaan yang baru untuk menambah wawasan bagi dirinya, dan
sebaliknya remaja yang tidak selektif akan mudah terbawa arus sehingga akan
terjerumus dalam kebudayaan yang merusak kepribadian dan moralnya.
Al-Qur’an
dan hadist sangat menentukan dalam membentuk konsep diri terutama identitas diri seseorang. Karena konsep diri berperan dalam
menentukan keberhasilan dan kegagalan remaja serta sangat mempengaruhi
kepribadiannya dalam masyarakat.
Dalam
kondisi seperti ini, remaja butuh suatu pegangan dalam dirinya yaitu suatu
kejelasan konsep yang dapat dijadikan sarana untuk bertingkah laku dalam
menghadapi segala masalah hidupnya dan menjadikan dirinya sebagai remaja yang
bermoral.
Pembentukan
dan integrasi identitas diri pada remaja umumnya meliputi area pemilihan
pekerjaan, orientasi seksual, politik dan agama. Namun pekerjaan dan ideologi, termasuk
di dalamnya agama, biasanya merupakan dua tema sentral
yang banyak berhubungan dengan identitas diri
remaja. Agama merupakan bagian
dari strategi umum yang digunakan para remaja untuk
menghadapi berbagai konflik, tekanan dan tuntutan baik dari dalam diri maupun
dari lingkungan
(Paloutzian, 1996:125).
Pada kenyataannya, keterlibatan
remaja dalam beragama sering tidak konsisten. Remaja kadang-kadang sangat
religius tapi juga seringkali sangat tidak religius. Terjadi peningkatan minat
pada remaja untuk mengikuti acara-acara keagamaan. Di sisi lain, pada masa
remaja juga terjadi peningkatan intensitas pertanyaan, sikap kritis dan
keraguan tentang beberapa konsep ajaran agama yang mereka terima semasa anak-anak
(Paloutzian, 1996, h. 106).Paloutzian juga menambahkan bahwa konflik dan
keragu-raguan merupakan ciri umum perkembangan religiusitas pada remaja.
Wagner (dalam Hurlock,
1997:222) menyebutkan bahwa hal ini terjadi
karena remaja menyelidiki agama sebagai sumber dari
rangsangan emosional dan
intelektual. Remaja tidak ingin menerima agama
begitu saja sebagai doktrin, namun lebih berdasarkan pengertian intelektual,
juga keinginan untuk mandiri dan
bebas menentukan keputusan-keputusan sendiri.
Termasuk keputusan untuk melakukan konversi agama, menentukan agama yang
diyakini sebagai sebuah
pilihan mandiri.
(Mulyono, 2007:6-7)
kemampuan berpikir abstrak remaja
memungkinkannya untuk dapat mentransformasikan keyakinan beragamanya. Dia dapat
mengapresiasi kualitas keabstrakan Tuhan sebagai yang Maha Adil, Maha Kasih
Sayang. Berkembangnya kesadaran atau keyakinan beragama, seiring dengan
mulainya remaja menanyakan atau mempertanyakan “apakah Tuhan Maha Kuasa,
mengapa masih terjadi penderitaan dan kejahatan di dunia ini?”
untuk memperoleh kejelasan tentang
kesadaran beragaa remaja ini, dapat disimak dalam uraian berikut:
1)
Masa remaja awal (sekitar usia 13-16 tahun)
Pada masa ini
terjadi perubahan jasmani yang cepat, sehingga memungkinkan terjadinya
kegoncangan emosi, kecemasan, dan kekhawatiran. Bahkan, kepercayaan agama yang
telah tumbuh pada umur sebelumnya, mungkin pula mengalami kegoncangan.
Kepercayaan kepada Tuhan kadang-kadang sangat kuat, akan tetapi kadang-kadang
menjadi berkurang yang terlihat pada cara ibadahnya yang kadang-kadang rajin
dan kadang-kadang malas.
Kegoncangan
dalam keagamaan ini mungkin muncul, karena disebabkan oleh faktor internal
maupun eksternal. Faktor internal berkaitan dengan matangnya organ seks, yang
mendorong remaja untuk memenuhi kebutuhan tersebut; namun, di sisi lain ia tahu
bahwa perbuatannya itu dilarang oleh agama. Kondisi ini menimbulkan konflik pada
remaja. Faktor eksternal lainnya adalah bersifat psikologis, yaitu sikap
independen, keinginan untuk bebas, tidak mau terikat oleh norma-norma orang
tua.
Apabila remaja kurang mendapatkan bimbingan
keagamaan dalam keluarga, kondisi keluarga yang kurang harmonis, orang tua yang
kurang memberikan kasih sayang dan berteman dengan kelompok sebaya yang kurang
menghargai nilai-nilai agama, maka kondisi tersebut akan menjadi pemicu
berkembangnya sikap dan prilaku yang kurang baik.
2)
Masa remaja akhir (sekitar usia 17-21 tahun)
Secara
psikologis masa ini merupakan permulaan masa dewasa, emosinya mulai stabil dan
pemikirannya mulai matang (kritis). Dalam kehidupan beragama, remaja sudah
mulai melibatkan diri membedakan agama sebagai ajaran dengan manusia sebagai
penganutnya di antaranya ada yang shalih dan ada yang tidak shalih. Pengertian
ini memungkinkan dia untuk tidak terpengaruh oleh orang-orang yang mengaku
beragama, namun tidak melaksanakan ajaran agama atau perilakunya bertentangan
dengan nilai agama. ( Yusuf, 2004:204-206)
Suatu perkara yang sama akan menimbulkan perilaku
yang berlainan bila terdapat pada orang-orang yang memiliki konsep diri yang
berbeda. Konsep diri ada yang positif dan ada pula yang negatif. Konsep diri
yang positif akan menimbulkan perilaku yang positif. Sedangkan konsep diri yang
negatif akan menimbulkan perilaku yang negatif pula. Dalam bahasa agama islam,
yang pertama disebut al-akhlaqul mahmudah (akhlak yang terpuji), dan kedua
disebut al-akhlaqul mazmumah (akhlak yang tercela).
Al-Qur’an
mengajarkan bahwa ada dua dasar pertimbangan dalam memilih, yaitu berdasarkan
suka-tak suka atau berdasarkan baik-buruk. Al-Qur’an, serta akal sehat kita,
mengajarkan bahwa pertimbangan baik-buruk lebih baik daripada pertimbangan
berdasarkan suka-tak suka. ”Boleh jadi kamu membenci sesuatu padahal ia baik
bagimu dan boleh jadi kamu menyukai sesuatu padahal ia buruk bagimu. Dan Allah
mengetahui sedang kamu tidak mengetahui.” (Al-Baqarah [2]: 216).
Anak-anak
cenderung memilih sesuatu berdasarkan pertimbangan suka-tak suka. Bila ia
menyukai sesuatu, maka ia akan menginginkan dan berusaha untuk mendapatkannya.
Bila ia tak menyukainya, maka ia akan berusaha menolaknya walaupun sesuatu itu
mungkin baik untuknya. Orang yang memiliki karakter dewasa memilih dengan dasar
pertimbangan yang berbeda. Mereka menimbang sesuatu berdasarkan baik buruknya.
Walaupun ia cenderung pada sesuatu, ia akan mengindarinya sekiranya itu buruk
bagi dirinya. Tentu saja ini merupakan sebuah gambaran yang ideal. Pada realitanya,
banyak juga dijumpai orang-orang yang berusia dewasa tetapi melakukan hal-hal
yang buruk hanya karena mereka menyukai hal-hal tersebut.( muthoin, 2010)
Setiap orang
cenderung untuk bertingkah laku sesuai dengan konsep diri masing-masing, ini
disebut dengan nubuwat yang dipenuhi
sendiri (self-fulfilling prophecy). Jika anda berfikir bahwa anda adalah
seorang pekerja yang baik, anda akan bekerja dengan tekun, datang on time, dan
melaksanakan pekerjaan dengan sebaik-baiknya. Bila si Fulan merasa bahwa
dirinya adalah seorang muslim yang taat, ia akan rajin beribadah, sering
mengikuti pengajian agama, melakukan perintah agamanya dan meninggalkan
larangannya. Demikianlah seterusnya. Anda berusaha hidup sesuai dengan label
yang anda lekatkan pada diri anda. Hubungan konsep diri dengan perilaku,
mungkin dapat disimpulkan dengan ucapan para penganjur berfikir positif: You dont think what you are, you are what
you think.
D.
Penutup
Ø Kesimpulan
Konsep
diri sangat erat kaitannya dengan diri individu. Kehidupan yang sehat, baik
fisik maupun psikologi salah satunya di dukung oleh konsep diri yang baik dan stabil.
Konsep
diri juga berperan penting dalam perkembangan identitas pada remaja.
Agama (Islam)
datang untuk mempertegas konsep diri yang positif bagi umat manusia. Manusia
adalah makhluk yang termulia dari segala ciptaan Tuhan (Q.S.17:70). Karena itu,
ia diberi amanah untuk memimpin dunia ini (Q.S.2:30). Walaupun demikian,
manusia dapat pula jatuh kederjat yang paling rendah, kecuali orang-orang yang
beriman dan beramal sholeh (Q.S.95:6). Keimanan akan membimbing kita untuk
membentuk konsep diri yang positif, dan konsep diri yang positif akan
melahirkan perilaku yang positif pula, yang dalam bahasa agama disebut amal sholeh. Tidak sedikit ayat-ayat
yang terdapat dalam Al-Quran yang menyebut kata iman dan diiringi oleh kata
amal (allazina amanu wa amilus-sholihat), ini bukan saja menunjukkan eratnya
hubungan diantara keduanya, tetapi juga menunjukkan betapa pentingnya iman dan
amal tersebut, sehingga nilai seseorang ditentukan oleh iman dan amalnya juga.
Sesungguhnya Allah Taala tidak akan melihat kepada bentuk (rupa) kamu, tidak
pula keturunan (bangsa) kamu, tidak juga harta kamu; tetapi , ia melihat kepada
hati kamu dan amal perbuatan kamu. (H.R.At-Thabrani). Semua manusia adalah sama
disisi Allah, yang lebih mulia hanyalah orang yang paling bertakwa (Q.S.49:13).
Ø Saran
Pada
usia remaja, sebaiknya orang tua yang berhubungan langsung dengan individu
tersebut memberikan perhatian khusus dalam perkembangan identittas dirinya dan
memberikan pendidikan tentang agama islam yang berkaitan erat dengan
perkembangan konsep diri remaja tersebut.
DAFTAR PUSTAKA
Helmi, A.F.
1999. Gaya Kelekatan dan Konsep Diri. Jurnal
psikologi: Jogjakarta. Fakultas Psikologi UGM.
Hurlock,
Elizabeth, B. 1980. Developmental
Psychology fifth edition. Mc Graw Hill. United State of America.
Kozier, Barbara,
Glenora. 1983. Fundamentals of
Nursing-second edition. Addison Wesley: California.
Mulyono, Ninin, K. 2007. Proses Pencarian Identitas Diri Pada Remaja
Muallaf. Skripsi Psikologi: Semarang. Fakultas Kedokteran Universitas
Diponegoro.
Muthoin. 2010. Artikel pendidikan remaja. http://muthoin22.student.umm.ac.id/2010/05/02/pendidikan-remaja/
Murmanto,
Melanie, D. 2007. Pembentukan Konsep Diri Siswa melalui Pembelajaran
Partisipatif. Jurnal pendidikan penabur:
Jakarta
Papalia, Diane,
Olds, Feldman. 2008. Human
development-perkembangan manusia. Mc Graw Hill. United State.
Pieter, Herri,
Lubis, N.L. 2010. Pengantar Psikologi
dalam Keperawatan. Kencana: Jakarta.
Rakhmat, Jalaluddin. 1993. Psikologi Komunikasi.
PT. Remaja Rosdakarya: Bandung.
Ristianti, Amie.
2008. Artikel Hubungan Antara
Dukungan Sosial Teman Sebaya dengan Identitas Diri Pada Remaja di SMA Pusaka 1
Jakarta. Fakultas Psikologi Universitas Gunadarma.
Salbiah. 2003. Konsep Diri. USU digital library. Sumatra Utara.
Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara.
Sarwono, Sarlito,
W. 1982. Pengantar Umum Psikologi.
Bulan Bintang: Jakarta.
Satgas Remaja
IDAI. 2009. Artikel Masalah kesehatan mental emosional remaja.
Buku Bunga Rampai Kesehatan Remaja.
Widodo,
Prasetyo, B. 2006. Reliabilitas Dan Validitas Konstruk
Skala
Konsep Diri Untuk Mahasiswa Indonesia. Jurnal
psikologi: Semarang. FK Universitas Diponegoro.
Yusuf, Syamsul.
2004. Psikologi Perkembangan Anak dan
Remaja. PT.Remaja Rosdakarya: Bandung.
Zubair, Charis.
1997. Etika Rekayasa Menurut Konsep Islam.
Pustaka Pelajar: Yogyakarta