UIN Alauddin Makassar

UIN Alauddin Makassar

Kamis, 12 April 2012

Hildegard E. Peplau



A.      Biografi Hildegard E. Peplau

       Hildegard E. Peplau, PhD, RN, FAAN, lahir pada tanggal 1 September 1909 di Reading, Pennsylvania. Peplau lulus dari Hospital School of Nursing di Pottstown, Pennsylvania pada tahun 1931. Dia lulus dari Bennington College dengan gelar BA dalam bidang Psikologi interpersonal pada tahun 1943, dan dari Columbia University di New York dengan MA dalam Keperawatan Psikiatri tahun 1947, dan Ed.D. dalam Pengembangan Kurikulum pada tahun 1953.
          Hildegard Peplau menerbitkan bukunya “hubungan interpersonal dalam keperawatan” pada tahun 1952 . Ia juga menerbitkan banyak artikel dalam majalah-majalah professional dengan topic mulai konsep interpersonal sampai issue terkini dalam bidang keperawatan. Pampletnya “prinsip dasar bagi konseling keperawatan” yang berasal dari hasil penelitianya dan lokakaria (pengalaman kerja).
         Peplau merupakan satu-satunya perawat untuk melayani ANA sebagai direktur eksekutif dan kemudian sebagai presiden, ia menjabat dua istilah di Dewan International Council of Nurses (ICN).  Pada tahun 1997, ia menerima kehormatan tertinggi keperawatan, yang Christiane Reimann Prize, pada Kongres ICN yang berlangsung empat tahun. Pada tahun 1996, American Academy of  Nursing Peplau dihormati sebagai “Legenda Hidup”, dan, pada tahun 1998, ANA dilantik-nya ke dalam Hall of Fame.
       Hildegard E. Peplau, PhD, RN, FAAN, yang dikenal sebagai “jiwa ibu menyusui,” meninggal di usia 89 tahun pada tanggal 17 Maret 1999.





B.       Model Konsep dan Teori Keperawatan Hildegard E. Peplau
Menurut Peplau, keperawatan adalah terapeutik yaitu satu seni  menyembuhkan, menolong individu yang sakit atau membutuhkan pelayanan kesehatan. Keperawatan dapat dipandang sebagai satu proses interpersonal karena melibatkan interaksi antara dua atau lebih individu dengan tujuan yang sama.
Model konsep dan teori keperawatan yang dijelaskan oleh Peplau menjelaskan tentang kemampuan dalam memahami diri sendiri dan orang lain yang menggunakan dasar hubungan antar manusia yang mencakup 4 komponen utama, yaitu:
1.      Pasien
          Sistem dari yang berkembang terdiri dari karakteristik biokimia, fisiologis, interpersonal dan kebutuhan serta selalu berupaya memenuhi kebutuhannya dan mengintegrasikan belajar pengalaman. Pasien adalah subjek yang langsung dipengaruhi. .Oleh adanya proses interpersonal.
2.      Perawat
          Perawat berperan mengatur tujuan dan proses interaksi interpersonal dengan pasien yang bersifat partisipatif, sedangkan pasien mengendalikan isi yang menjadi tujuan. Hal ini berarti dalam hubungannya dengan pasien, perawat berperan sebagai mitra kerja, pendidik, narasumber, pengasuh pengganti, pemimpin dan konselor sesuai dengan fase proses interpersonal.
          Perawat mempunyai 6 peran sebagai berikut :
¯  Mitra kerja
¯  Narasumber (resources person)
¯  Pendidik (teacher)
¯  Kepemimpinan (leadership)
¯  Pengasuh pengganti (surrogate)
¯  Konselor (conselor)

3.      Masalah kecemasan yang terjadi akibat sakit
          Ansietas berat yang disebabkan oleh kesulitan mengintegrasikan pengalaman interpersonal yang lalu dengan yang sekarang ansietas terjadi apabila komunikasi dengan orang lain mengancam keamanan psikologi dan biologi individu. Dalam model peplau ansietas merupakan konsep yang berperan penting karena berkaitan langsung dengan kondisi sakit. Dalam keadaan sakit biasanya tingkat ansietas meningkat. Oleh karena itu perawat pada saat ini harus mengkaji tingkat ansietas klien. Berkurangnya ansietas menunjukkan bahwa kondisi klien semakin membaik.
4.      Proses interpersonal
        Peplau mengidentifikasi empat tahapan hubungan interpersonal yang saling berkaitan, yaitu:
a.       Tahap Orientasi
 Tahap orientasi dipengaruhi langsung oleh sikap perawat dan klien dalam memberi atau menerima pertolongan. Selain itu, tahap ini juga dipengaruhi oleh ras, budaya, agama, pengalaman, latar belakang, dan harapan klien maupun perawat. Akhir dari tahap ini adlah perawat dan klien bersama-sama mengidentifikasi adanya masalah serta menumbuhkan rasa saling percaya sehingga kedua-dunay siap untuk melangkah ke tahap yang berikutnya.
a.      Tahap Identifikasi
Selama tahap identifikasi, klien diharapkan mulai memiliki perasaan terlibat dan mulai memiliki kemampuan untuk mengatasi masalah dengan mengurangi perasaan tidak berdaya dan putus asa. Upaya ini akan menumbuhkan sikap positif paa diri klien guna melaju ke tahap selanjutnya.
b.      Tahap Eksploitasi
Pada tahap ini, perawat juga dituntut menguasai keterampilan berkomunikasi secara terapeutik. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa tahap eksplorasi merupakan tahap pemberian bantuan pada klien sebagai langkah pemecahan masalah. Jika tahap ini berhasil, proses interpersonal akan berlanjut pada tahap akhir, yaitu resolusi.
c.       Tahap  Resolusi
Pada tahap resolusi , tujuan bersama antara perawat dan klien sudah sampai pada tahap akhir dan keduanya siap mengakhiri hubungan terapeutik yang selama ini terjalin. Indikator keberhasilan untuk tahap ini adalah jika klien sudah mampu mandiri dan lepas dari bantuan perawat. Selanjutnya, baik perawat maupun klien akan menjadi individu yang matang dan lebih berpengalaman.
C.      Teori Keperawatan Peplau Dan Konsep Utama Keperawatan
          teori keperawatan biasanya berkembang empat konsep utama, yaitu: keperawatan, individu, kesehatan, dan lingkungan.
T  Individu
Individu dipandang sebagai suatu organisme yang berjuang dengan caranya sendiri untuk mengurangi ketegangan yang disebabkan oleh kebutuhan. Tiap individu merupakan makhluk yang unik, mempunyai persepsi yang dipelajari dan ide yang telah terbentuk dan penting untuk proses interpersonal.
T  Lingkungan
Budaya dan adat istiadat merupakan factor yang perlu dipertimbangkan dalam menghadapi individu.
T  Kesehatan
Kesehatan sebagai sebuah simbol yang menyatakan secara tidak langsung perkembangan progresif dari kepribadian dan proses kemanusiaan yang terus-menerus mengarah pada keadaan kreatif, konstruktif, produktif di dalam kehidupan pribadi maupun komunitas.
T  Keperawatan
Suatu proses interpersonal yang bermakna. Proses interpersonal merupakan maturing force dan alat educatif baik perawaat maupun pasien. Pengetahuan diri dalam konteks interaksi interpersonal merupakan hal yang penting untuk memahami klien dalam mencapai resolusi masalah.
D.      Implementasi Teori Peplau
        Pada awalnya, Peplau mengembangkan teorinya sebagai bentuk keprihatinannya terhadap praktik keperawatan “Custodial Care”, sehingga sebagai perawat jiwa, melalui tulisannya ia kemudian mempublikasikan teorinya mengenai hubungan interpersonal dalam keperawatan. Dimana dalam memberikan asuhan keperawatan ditekankan pada perawatan yang bersifat terapeutik.
        Teori peplau merupakan teori yang unik dimana hubungan kolaborasi perawat klien membentuk suatu “kekuatan mendewasakan” melalui hubugan interpersonal yang efektif dalam membantu pemenuhan kebutuhan klien. Ketika kebutuhan dasar telah diatasi, kebutuhan yang baru mungkin muncul. Hubungan interpesonal perawat klien digambarkan sebagai fase-fase yang saling tumpang tindih seperti berikut ini orientasi, identifikasi, penjelasan dan resolusi.
        Teori dan gagasan Peplau dikembangkan untuk memberikan bentuk praktik keperawatan jiwa. Penelitian keperawatan tentang kecemasan, empati, instrument perilaku, dan instrument untuk mengevaluasi respon verbal dihasilkan dari model konseptual Peplau.



DAFTAR PUSTAKA

Asmadi. 2008. Konsep Dasar Keperawatan. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC.
Elisa. 2009. Model Keperawatan Menurut Hildegard Peplau. Diperoleh dari http://elisasiregar.wordpress.com/hildegard-peplau-theory/. Pada tanggal 10 Apr. 2012, pukul 12:24 WITA.
Hidayat. A. 2009. Pengantar Konsep Dasar Keperawatan Edisi 2. Surabaya: Salemba Medika.
http://panda5ice.wordpress.com/2011/08/25/hildegard-e-peplau/. Pada tanggal 10 Apr. 2012, pukul  12:19 WITA.
Joe. 2009. Model Konseptual Hildegard E. Peplau. Diperoleh dari http://perawattegal.wordpress.com/2009/12/12/model-konseptual-peplau/. Pada tanggal 10 Apr. 2012, pukul  12:18 WITA.
Oktiyah. 2012. Teori Keperawatan Hildegard E. Peplau.  http://siti-oktiya.blogspot.com/2012/01/teori-keperawatan-hildegard-e-peplau.htm. Pada tanggal 10 Apr. 2012, pukul 12:25 WITA.
Rudi. 2010. Hildegard E. Peplau "Interpersonal Relationship Theory" . diperoleh dari http://perawatankesehatan.blogspot.com/2010/06/hildegard-e-peplau-interpersonal_29.html. pada tanggal 10 Apr. 2012, pukul 12:23 WITA.

jurnal kesehatan



KONSEP DIRI DAN ISLAM
DALAM PENCARIAN  IDENTITAS DIRI PADA REMAJA
Rosdiana Rusdi
Program Studi Ilmu Keperawatan Fakultas Ilmu Kesehatan
 UIN Alauddin Makassar

Abstrak
self-concept is a basic concept that nurses need to know to understand the behavior and the client's view of itself and its environment. Individual response to the stimulus or stressessor can be analyzed from various components of self concept so that nurses can plan of care and quality sharper. The concept of self is the way individuals view themselves as a whole either physically, emotionally, intellectually, socially and spiritually. The main dimensions of the concept of self is what we know about ourselves. Usually this involves things that are basic. Self-concept is closely associated with the individual, self-concept is also related to aspects of religion, as a guide in the search for identity and as a means of socializing among individuals. On the search for identity in adolescence, self concept is also very instrumental in the formation of the teenage characters.

Key words: self-concept, self-concept components, aspects of religion, adolescence.

konsep diri merupakan konsep dasar yang perlu diketahui perawat untuk mengerti prilaku dan pandangan klien terhadap dirinya serta lingkungannya. Respon individu terhadap stimulus atau stressessor dapat dianalisa dari berbagai komponen konsep diri sehingga perawat dapat merencanakan asuhan yang lebih tajam dan berkualitas. Konsep diri adalah cara individu memandang dirinya secara utuh baik fisikal, emosional, intelektual, sosial maupun spiritual.
Dimensi utama dari konsep diri adalah apa yang kita ketahui tentang diri kita. Biasanya hal ini menyangkut hal-hal yang bersifat dasar.
Konsep diri sangat erat kaitannya dengan diri individu , konsep diri juga berkaitan dengan aspek agama, sebagai pedoman dalam mencari jati diri dan sebagai sarana bersosialisasi antar individu.
Pada masa pencarian jati diri pada remaja, konsep diri juga sangat berperan penting dalam pembentukan karakter remaja tersebut.

Kata kunci: konsep diri, komponen konsep diri, aspek agama, masa remaja.


A.  Latar Belakang
Tuhan menciptakan setiap manusia dengan ciri khasnya masing-masing. Manusia tidak ada yang sama persis di dunia ini walaupun dengan saudara kembarnya sendiri. Manusia kembar memiliki wajah yang sama seperti hanya kembar identik, namun kepribadian, kemampuan dalam mengatur orientasi hidup dan lain-lain pasti ada perbedaannya.
Identitas jelas diperlukan individu agar dapat menjalankan kehidupannya. Individu yang tidak memiliki pemahaman baik mengenai dirinya, akan lebih besar kemungkinannya hidup dalam ketidakpastian serta tidak mampu menyadari keunggulan maupun kekurangan yang ada pada dirinya. Individu tersbut akan menjadi individu yang tidak percaya diri dan tidak memiliki kebanggaan pada dirinya sendiri.
                   Charles Horton Cooley (1864-1929), mengatakan bahwa kita dapat mempersepsi diri sendiri dengan berperan sebagai subjek dan objek persepsi sekaligus. Bagaimana boleh terjadi? Kita melakukannya dengan membayangkan diri kita sebagai orang lain; dalam benak kita. Cooley menyebut gejala ini dengan looking-glass self (diri cermin); seakan-akan kita menaruh cermin didepan kita. Pertama, kita membayangkan bagaimana kita tampak oleh orang lain; kita melihat sekilas diri kita seperti dalam cermin. Misalnya, kita merasa wajah kita jelek. Kedua, kita membayangkan bagaimana orang lain menilai penampilan kita. Kita fikir mereka menganggap diri kita tidak menarik. Ketiga, kita mengalami perasaan bangga atau keewa, mungkin juga merasa sedih atau malu. Ini sejalan dengan pandangan William James yang membedakan antara The I,diri yang sadar dan aktif, dan The me, diri yang menjadi objek renungan kita.
Dengan mengamati diri kita, sampailah kita pada gambaran dan penilaian diri kita. Ini disebut konsep diri (self-concept).
          Remaja pada dasarnya merupakan hasil konstruksi sosial untuk menggambarkan periode antara masa anak-anak dan dewasa yang cukup memungkinkan untuk dianalisis tersendiri karena memiliki karakteristik
perkembangan yang unik. Terutama adanya interaksi antara perubahan biologis yang pesat, perubahan status sosial dari anak-anak ke dewasa serta sejumlah perubahan kognitif.
Perkembangan remaja berfokus pada usaha untuk mengarahkan perilaku yang kekanak-kanakan menuju persiapan menghadapi kedewasaan. Remaja diharapkan mulai mengurangi ketergantungan secara perlahan dari orang tua maupun teman sebaya, serta mengembangkan sikap dan perilaku yang lebih mandiri. (Mulyono, 2007:14-15)
            Masa remaja adalah waktu dimana berbagai kesempata sekaligus resiko datang. Remaja berada dalam ambang cinta, pekerjaan untuk menghidupi dirinya dan keikutsertaan dalam lingkungan orang dewasa. Akan tetapi, masa remaja juga masa dimana beberapa remaja terlibat perilaku yang menutup berbagai pilihan dan membatasi peluang mereka.

B.     Tujuan Penulisan
            Adapun tujuan penulisan jurnal ini agar dapat memberikan wawasan tentang pencarian jati diri khususnya para kaum remaja dimana saat remaja merupakan masa pencarian identitas diri yang paling penting. Tentu saja dalam mencari identitas diri remaja juga membutuhkan pengetahuan agama yang akan menjadi pedoman.

C.  Tinjauan Pustaka
            Konsep diri adalah semua ide, pikiran, kepercayaan dan pendirian yang diketahui individu tentang dirinya dan mempengaruhi individu dalam berhubungan dengan orang lain (Stuart dan Sudeen, 1998). Hal ini temasuk persepsi individu akan sifat dan kemampuannya, interaksi dengan orang lain dan lingkungan, nilai-nilai yang berkaitan dengan pengalaman dan objek, tujuan serta keinginannya. Sedangkan menurut Beck, Willian dan Rawlin (1986) menyatakan bahwa konsep diri adalah cara individu memandang dirinya secara utuh, baik fisikal, emosional intelektual , sosial dan spiritual.
( Salbiah, 2003)
      Konsep diri telah melalui sejarah perkembangan yang cukup panjang, yang meliputi: 1)Model terdahulu yang berisikan tentang riset tentang konsep diri general daripada menempatkan konsep diri sebagai sesuatu yang terdiri dari banyak segi (multifaceted). Jadi dalam sejarahnya, konsep diri dianggap sebagai suatu konstruk yang unidimensi; 2) Model Shavelson yang berisikan tentang model konsep diri yang bersifat terorganisasi atau terstruktur, terdiri dari banyak segi (multi-faceted), bersifat hierarkis (dalam hierarki terdapat puncak yang stabil, namun untuk hierarki di bawahnya menjadi kurang stabil sebagai konsekuensi adanya konsep diri pada suatu situasi yang spesifik), bersifat evaluatif maupun deskriptif, dan berbeda dari konstruk yang lain; dan 3) Model Shavelson dan Marsh yang berisikan tentang model Internal dan Eksternal (model I/E) dalam konsep diri. ( Widodo, 2006:3)
Konsep diri merupakan hasil dari aktivitas pengeksplorasian dan pengalamannya dengan tubuhnya sendiri. Konsep diri dipelajari melalui pengalaman pribadi setiap individu, hubungn dengan orang lain dan interaksi dengan dunia diluar dirinya. (Suliswati,:90)
             Konsep diri mempunyai peranan penting dalam menentukan perilaku individu. Bagaimana individu memandang dirinya akan tampak dari seluruh perilaku. Dengan kata lain, perilaku individu akan sesuai dengan cara individu memandang dirinya sendiri. Ada tiga alasan penting yang dapat menjelaskan peranan penting konsep diri dalam menentukan perilaku.
Pertama, konsep diri mempunyai peranan dalam mempertahankan keselarasan (inner consistency). Alasan ini berpangkal dari pendapat bahwa pada dasarnya individu berusaha mempertahankan keselarasan batinnya.
Kedua, seluruh sikap dan pandangan individu terhadap dirinya sangat mempengaruhi individu tersebut dalam menafsirkan pengalamannya.
Ketiga, konsep diri menentukan pengharapan individu. Menurut beberapa ahli, pengharapan ini merupakan inti dari konsep diri. Seperti yang dikemukakan oleh McCandless (1970) bahwa konsep diri merupakan seperangkat harapan serta penilaian perilaku yang merujuk kepada harapan-harapan tersebut.
Diri pribadi memiliki tiga komponen diri moral-etika, konsistensi diri, dan ideal diri atau diri-harapan. (1) diri etika moral yang dievaluasi yang individu. komponen ini melibatkan nilai-nilai yang dipegang oleh individu. itu mengevaluasi keinginan relatif persepsi dan membandingkannya dengan nilai diadakan. (2) konsistensi diri adalah komponen yang berusaha untuk mempertahankan citra diri yang stabil. (3) Self-ideal berhubungan dengan harapan seseorang menjadi dan melakukan. (Kozier,1983:837).
KOMPONEN KONSEP DIRI
            Konsep diri dapat digambarkan dalam istilah rentang dari kuat sampai lemah atau dari positif sampai negatif, bergantung pada kekuatan individu dari komponen-komponen konsep dirinya. (Potter dan Perry, :500)
            Ada dua komponen konsep diri: komponen kognitif dan komponen afektif. Dalam psikologi sosial komponen kognitif itu disebut citra diri (self-image), dan komponen afektif disebut harga diri (self-esteem). Keduanya , menurut William D. Brooks dan Philip Emmert, berpengaruh besar pada pola komunikasi interpersonal. Konsep diri juga berpengaruh pada hubungan sosial dan hidup bermasyarakat. ((Rakhmat, 1993: 99-100)

1.      Identitas
Identitas diri adalah kesadaran individu untuk menmpatkan diri dan memberi arti pada dirinya sebagai seorang pribadi yang unik, memiliki keyakinan yang relatif stabil, serta memiliki peran penting dalam konteks kehidupan bermasyarakat. (Ristianti, 2008:6)
Identitas mencakup rasa internal tentang individualitas, keutuhan, dan konsistensi dari seseorang sepanjang waktu dan dalam berbagai situasi.
Identitas menunjukkan menjadi lain dan terpisah dari orang lain, namun menjadi diri yang utuh dan unik. (Potter dan Perry, 2005:500)
Seseorang yang mempunyai perasaan identitas diri yang kuat akan memandang dirinya berbeda dengan orang lain. Kemandirian timbul dari perasaan berharga (aspek diri sendiri), kemampuan dan penyesuaian diri. (Salbiah, 2003:8)
2.      Citra tubuh
Citra tubuh membentuk persepsi seseorang tentang tubuh, baik secara internal. Persepsi ini mencakup perasaan dan sikap yang ditujukan pada tubuh.
Citra tubuh dipengaruhi oleh pandangan pribadi tentang karakteristik dan kemampuan fisik dan persepsi dari pandangan orang lain.
3.      Harga diri
Harga diri berdasarkan pada faktor internal dan eksternal. Harga diri atau rasa kita tengtang nilai-diri, rasa ini adalah suatu evaluasi dimana seseorang membuat atau mempertahankan diri. (Potter dan Perry, 2005:500)
Frekuensi pencapaian tujuan akan menghasilkan harga diri yang rendah atau harga diri yang tinggi. Jika individu sering gagal , maka cenderung harga diri rendah. Harga diri diperoleh dari diri sendiri dan orang lain. Aspek utama adalah di cintai dan menerima penghargaan dari orang lain.
Biasanya harga diri sangat rentan terganggu pada saat remaja dan usia lanjut. Dari hasil riset ditemukan bahwa masalah kesehatan fisik mengakibatkan harga diri rendah. ( Salbiah, 2003)
4.      Peran
Peran mencakup harapan atau standar perilaku yang telah diterima oleh keluarga, komunitas dan kultur. Perilaku didasarkan pada pola yang ditetapkan melalui sosialisasi.(Potter dan Perry, 2005:501)

PERKEMBANGAN KONSEP DIRI PADA REMAJA                 
   
             Konsep diri bukan merupakan  faktor yang dibawa sejak lahir, melainkan faktor yang dipelajari dan terbentuk melalui pengalaman individu dalam berhubungan dengan orang lain. Dalam berinteraksi ini setiap individu akan menerima tanggapan. Tanggapan yang diterima tersebut akan dijadikan cermin bagi individu untuk menilai dan memandang dirinya sendiri, terutama didasarkan tanggapan orang penting dalam hidup anak, yaitu orang tua, guru, dan teman sebaya mereka. Jadi konsp diri terbentuk dari suatu proses umpan balik dari individu lain.
Perkembangan konsep diri adalah proses sepanjang hidup  Setiap tahap perkembangan mempunyai aktivitas spesifik yang membantu individu dalam mengembangkan konsep diri yang positif. (Potter dan Perry, 2005:506)
Proses pembentukan konsep diri dimulai sejak masih kecil. Masa kristis pembentukan konsep diri adalah saat anak masuk sekolah dasar. Mengutip pendapat Glasser, seorang pakar pendidikan dari Amerika, Adi Gunawan menyatakan bahwa lima tahun pertama di SD akan menentukan “nasib” anak selanjutnya. Pendapat ini sejalan dengan apa yang dikemukakan Jacinta F. Rini. Ia berpendapat, konsep diri terbentuk melalui proses belajar sejak masa pertumbuhan seseorang manusia dari kecil hingga dewasa. Lingkungan, pengalaman dan pola asuh orang tua turut memberikan pengaruh yang signifikan terhadap konsep diri yang terbentuk. Sikap atau respon orang tua dan lingkungan akan menjadi bahan informasi bagi anak untuk menilai siapa dirinya. (Melanie, 2007:68)
Salah satu periode dalam rentang kehidupan individu adalah masa (fase) remaja. Masa ini merupakan segmen kehidupan yang penting dalam siklus perkembangan individu, dan merupakan masa transisi yang dapat diarahkan kepada perkembangan masa dewasa yang sehat. (Yusuf, 2004:71)

Pada masa remaja peningkatan kapasitas intelektual, faktor biologis, faktor sosial yang menimbulkan perubahan peran dan status ini membuka perspektif kesadaran pada diri remaja tentang diri dan lingkungan sekitarnya. Remaja mulai tertarik untuk mempertanyakan kehidupannya di masa lalu, apa yang sebenarnya dilakukan sekarang, apa peranannya, ingin menjadi seperti apa, dan apa yang ingin diraih di masa yang akan datang. Remaja mulai mengembangkan konsep dan ide-ide yang berbeda daripada yang dikemukakan oleh orang tua, guru, maupun orang dewasa di sekitarnya. Remaja mulai mengedepankan penegasan pendapat pribadinya dan sebisa mungkin melepaskan pengaruh orang dewasa, namun pada saat yang sama remaja masih mempertahankan identitas dirinya terhadap kelompok sebaya. Para remaja lebih banyak terlibat proses pengambilan keputusan diantara pilihan-pilihan yang penting dalam hidupnya. Keputusan-keputusan selama masa remaja mulai membentuk inti tentang bagaimana individu menunjukkan keberadaanya sebagai manusia-konsep yang disebut para ahli sebagai identitas diri. (Multono, 2007:6)

PENCARIAN IDENTITAS DIRI PADA REMAJA
         
                     Masa remaja merupakan masa yang kritis dalam siklus perkembangan seseorang. Di masa ini banyak terjadi perubahan dalam diri seseorang sebagai persiapan memasuki masa dewasa. Remaja tidak dapat dikatakan lagi sebagai anak kecil, namun ia juga belum dapat dikatakan sebagai orang dewasa. Hal ini terjadi oleh karena di masa ini penuh dengan gejolak perubahan baik perubahan biologik, psikologik, maupun perubahan sosial. Dalam keadaan ‘serba tanggung’ ini seringkali memicu terjadinya konflik antara remaja dengan dirinya sendiri (konflik internal), maupun konflik lingkungan sekitarnya (konflik eksternal). Apabila konflik ini tidak diselesaikan dengan baik maka akan memberikan dampak negatif terhadap perkembangan remaja tersebut di masa mendatang, terutama terhadap pematangan karakternya dan tidak jarang memicu terjadinya gangguan mental. (IDAI, 2009)
            Erikson berpendapat bahwa remaja merupakan masa berkembangnya identity. Identity merupakan vocal point dari pengalaman remaja, karena semua krisis normatif yang sebelumnya telah memberikan konstribusi kepada perkembangan identitas. Erikson memandang pengalaman hidup remaja berada dalam keadaan moratorium, yaitu suatu periode saat remaja diharapkan mampu mempersiapkan dirinya untuk masa depan, dan mampu menjawab pertanyaan siapa saya?. Dia mengingat bahwa kegagalan remaja untuk mengisi atau menuntaskan tugas ini akan berdampak tidak baik bagi perkembangan dirinya.
            Apabila remaja gagal dalam mengembangkan rasa identitasnya, maka remaja akan kehilangan arah, bagaikan kapal kehilangan kompas. Dampaknya, mereka mungkin akan mengembangkan prilaku yang menyimpang, melakukan kriminalitas, atau menutup diri (mengisolasi diri) dari masyarakat.
            Anita E. Woolfolk mengartikan identity, sebagai “suatu yang pengorganisasian dorongan-dorongan (drives),kemampuan-kemampuan(abilities), keyakinan-keyakinan (beliefs) dan pengalaman individu ke dalam citra tubuh (body image) yang konsisten”. Upaya pengorganisasian ini melibakan kemampuan untuk melibatkan pilihan, dan mengambil keputusan, terutama yang menyangkut pekerjaan, orientasi seksual, dan falsafah kehidupan. Kegagalan mengintegrasikan semua aspej ini atau kesulitan untuk melaukukan pilihan, maka remaja akan mengalami keracunan peran (role confusion). ( Yusuf, 2004: 71-72)
            Perkembangan konsep diri dan citra tubuh sangat berkaitan erat dengan pembentukan identitas. Pengamatan dini mempunyai efek penting. Pengalaman yang positif pada masa kanak-kanak memberdayakan remaja untuk merasa baik tentang diri mereka. Pengalaman negatif sebagai anak dapat mengakibatkan konsep diri yang buruk. Anak-anak yang memasuki masa remaja dengan perasaan negatif menghadapi periode yang sulit ini bahkan lebih menyulitkan lagi. .(Potter dan Perry, 2005:508)
Proses integrasi pengalaman-pengalaman ke dalam kepribadian yang makin lama makin menjadi dewasa disebut proses pembentukan identitas diri.
Penting sekali diusahakan agar remaja dapat menentukan sendiri identitas dirinya dan berangsur-angsur melepaskan identifikasinya terhadap orang lain untuk akhirnya menjadi dirinya sendiri. (Sarwono, 1982:90)
Pencarian identitas yang didefenisikan Erikson sebagai konsepsi koheren diri, terdiri dari tujuan, nilai dan keyakinan yang dipercayai sepenuhnya oleh orang yang bersangkutan-menjadi fokus selama masa remaja. Perkembangan kognitif remaja kini membuat mereka dapat mengkontruksikan ‘teori diri’.seperti ditekankan oleh Erikson, usaha remaja untuk memahami diri sendiri bukan merupakan “sejenis tekanan kedewasaan”. Hal ini merupakan bagian dari kondisi  yang baik, proses penting yang berdasarkan pencapaian dari tahapan-tahapan sebelumnya. (papalia, 2008:65-66)
Remaja selalu mencari identitas diri guna menjelaskan dirinya dan apa peranannya. Tugas penting yang dihadapi remaja ialah sense of individual identity, yaitu mencari jawaban dari pertanyaan mengenai dirinya, mencakup keputusan dan standar-standar tindakan. Mencari identitas dan mengangkat harga diri akan membuat remaja memakai simbol status harga diri. (Pieter, 2010:67)
Remaja harus menyesuaikan diri terhadap tuntutan dirinya dan harapan lingkungan yang mengakibatkan adanya perubahan pada kepribadiannya. Oleh karena itu remaja terkadang merasa gelisah dan cemas. Lingkungan yang baru dan norma yang ada pada lingkungan sering dirasa sebagai suatu keadaan yang menghambat remaja dalam menyatakan dirinya secara wajar. Kondisi remaja yang seperti ini mengakibatkan kegagalan dalam menyesuaikan diri dan pencapaian konsep diri positif.
Sikap dan pandangan individu terhadap seluruh keadaan dirinya merupakan pengertian konsep diri. Remaja yang memiliki konsep diri positif akan mampu menghadapi tuntutan dari dalam diri maupun dari luar dirinya. Sebaliknya remaja yang memiliki konsep diri negatif kurang mempunyai keyakinan diri, merasa kurang yakin dengan kepuasannya sendiri dan cenderung mengandalkan opini dari orang lain dalam memutuskan sesuatu. (Psikologi, 2010)

ISLAM DAN IDENTITAS DIRI REMAJA
            Suatu identitas perlu dikokohkan oleh nilai-nilai (values) serta prinsip yang mendukungnya, sebab kalau tidak demikian, maka identitas tersebut hanya akan bersifat artifisial dan tidak konsisten. Sebagai contoh, misalnya seorang menyatakan bahwa identitas utamanya adalah Muslim, tetapi ia tidak memahami nilai-nilai dan prinsip-prinsip Islam serta banyak melakukan hal-hal yang bertentangan dengan agamanya. Oleh karena itu, membangun identitas diri pada anak harus dilakukan dengan membangun nilai-nilai serta prinsip-prinsip yang menopang tegaknya identitas tersebut.
Anak-anak perlu dibangun identitasnya sejak kecil, baik di rumah maupun di sekolah, sehingga ketika mereka memasuki usia baligh, mereka sudah memiliki identitas diri yang kokoh dan tak lagi mudah terombang-ambing dalam hidup. Psikologi Islam tentu merekomendasikan agama Islam sebagai identitas utama bagi setiap orang. Dan karena itu, nilai-nilai serta prinsip-prinsip utama Islam perlu dirumuskan dan ditanamkan secara bertahap pada anak. Jika proses penenaman dan pewarisan nilai ini berjalan dengan baik, maka anak tidak akan lagi mengalami krisis identitas saat memasuki usia belasan tahun.(Muthoin, 2010)
Konsep islam meliputi dimensi esensi yang berupa keimanan, dimensi bentuk yang berupa ritual wajib, dimensi ekspresi yang berupa tata hubungan antar manusia dan antar makhluk. Ketiganya tidak dapat dipisahkan dalam kehidupan muslim dan membangun konsep moralitasnya. (Zubair, 1997:108)
Upaya pembentukan manusia yang utuh dan paripurna (al-insan al-kamil) tidak mungkin dapat terwujud selama masih adanya kesenjangan yang serius dalam aspek-aspek kedewasaan remaja. Kesenjangan ini bertentangan dengan pola pertumbuhan natural manusia dan karenanya menimbulkan ketidaksehatan jiwa pada diri remaja. Ketidaksehatan jiwa ini pada gilirannya menyebabkan terjadinya ketidaksehatan sosial pada komunitas remaja dan lingkungannya. Prof. El-Quussy menyatakan bahwa ”pendidikan yang tidak menuju ke arah menciptakan kesehatan jiwa dianggap sebagai suatu perbuatan yang sia-sia, yang tidak ada gunanya.”
Oleh karenanya, salah satu tugas penting Psikologi Islam sekarang ini dalam pendidikan remaja adalah menghapuskan kesenjangan pada aspek kedewasaan remaja. Jadwal kedewasaan biologis tidak mungkin dimundurkan waktunya, karena terjadi secara alamiah. Oleh sebab itu, jadwal kedewasaan psikologis dan sosial-lah yang perlu kembali dimajukan waktunya agar berdekatan dengan jadwal kedewasaan biologis, sebagaimana yang selama ini dialami oleh remaja-remaja pada masyarakat primitif dan pada masyarakat di masa lalu. Dimajukannya jadwal waktu kedewasaan psikologis dan sosial lebih bersifat natural dan lebih menjamin kesehatan jiwa dalam fase pertumbuhan remaja. (Muthoin, 2010)
Dalam kehidupan remaja selalu datang kebudayaan yang belum tentu positif pengaruhnya bagi kehidupannya. Remaja yang selektif akan mempelajari dan menerima kebudayaan yang baru untuk menambah wawasan bagi dirinya, dan sebaliknya remaja yang tidak selektif akan mudah terbawa arus sehingga akan terjerumus dalam kebudayaan yang merusak kepribadian dan moralnya.
Al-Qur’an dan hadist sangat menentukan dalam membentuk konsep diri terutama identitas diri  seseorang. Karena konsep diri berperan dalam menentukan keberhasilan dan kegagalan remaja serta sangat mempengaruhi kepribadiannya dalam masyarakat.  Dalam kondisi seperti ini, remaja butuh suatu pegangan dalam dirinya yaitu suatu kejelasan konsep yang dapat dijadikan sarana untuk bertingkah laku dalam menghadapi segala masalah hidupnya dan menjadikan dirinya sebagai remaja yang bermoral.
            Pembentukan dan integrasi identitas diri pada remaja umumnya meliputi area pemilihan pekerjaan, orientasi seksual, politik dan agama. Namun pekerjaan dan ideologi, termasuk di dalamnya agama, biasanya merupakan dua tema sentral
yang banyak berhubungan dengan identitas diri remaja. Agama merupakan bagian
dari strategi umum yang digunakan para remaja untuk menghadapi berbagai konflik, tekanan dan tuntutan baik dari dalam diri maupun dari lingkungan
(Paloutzian, 1996:125).
Pada kenyataannya, keterlibatan remaja dalam beragama sering tidak konsisten. Remaja kadang-kadang sangat religius tapi juga seringkali sangat tidak religius. Terjadi peningkatan minat pada remaja untuk mengikuti acara-acara keagamaan. Di sisi lain, pada masa remaja juga terjadi peningkatan intensitas pertanyaan, sikap kritis dan keraguan tentang beberapa konsep ajaran agama yang mereka terima semasa anak-anak (Paloutzian, 1996, h. 106).Paloutzian juga menambahkan bahwa konflik dan keragu-raguan merupakan ciri umum perkembangan religiusitas pada remaja.
Wagner (dalam Hurlock, 1997:222) menyebutkan bahwa hal ini terjadi
karena remaja menyelidiki agama sebagai sumber dari rangsangan emosional dan
intelektual. Remaja tidak ingin menerima agama begitu saja sebagai doktrin, namun lebih berdasarkan pengertian intelektual, juga keinginan untuk mandiri dan
bebas menentukan keputusan-keputusan sendiri. Termasuk keputusan untuk melakukan konversi agama, menentukan agama yang diyakini sebagai sebuah
pilihan mandiri. (Mulyono, 2007:6-7)
            kemampuan berpikir abstrak remaja memungkinkannya untuk dapat mentransformasikan keyakinan beragamanya. Dia dapat mengapresiasi kualitas keabstrakan Tuhan sebagai yang Maha Adil, Maha Kasih Sayang. Berkembangnya kesadaran atau keyakinan beragama, seiring dengan mulainya remaja menanyakan atau mempertanyakan “apakah Tuhan Maha Kuasa, mengapa masih terjadi penderitaan dan kejahatan di dunia ini?”
            untuk memperoleh kejelasan tentang kesadaran beragaa remaja ini, dapat disimak dalam uraian berikut:
1)        Masa remaja awal (sekitar usia 13-16 tahun)
Pada masa ini terjadi perubahan jasmani yang cepat, sehingga memungkinkan terjadinya kegoncangan emosi, kecemasan, dan kekhawatiran. Bahkan, kepercayaan agama yang telah tumbuh pada umur sebelumnya, mungkin pula mengalami kegoncangan. Kepercayaan kepada Tuhan kadang-kadang sangat kuat, akan tetapi kadang-kadang menjadi berkurang yang terlihat pada cara ibadahnya yang kadang-kadang rajin dan kadang-kadang malas.
Kegoncangan dalam keagamaan ini mungkin muncul, karena disebabkan oleh faktor internal maupun eksternal. Faktor internal berkaitan dengan matangnya organ seks, yang mendorong remaja untuk memenuhi kebutuhan tersebut; namun, di sisi lain ia tahu bahwa perbuatannya itu dilarang oleh agama. Kondisi ini menimbulkan konflik pada remaja. Faktor eksternal lainnya adalah bersifat psikologis, yaitu sikap independen, keinginan untuk bebas, tidak mau terikat oleh norma-norma orang tua.
     Apabila remaja kurang mendapatkan bimbingan keagamaan dalam keluarga, kondisi keluarga yang kurang harmonis, orang tua yang kurang memberikan kasih sayang dan berteman dengan kelompok sebaya yang kurang menghargai nilai-nilai agama, maka kondisi tersebut akan menjadi pemicu berkembangnya sikap dan prilaku yang kurang baik.

2)        Masa remaja akhir (sekitar usia 17-21 tahun)
Secara psikologis masa ini merupakan permulaan masa dewasa, emosinya mulai stabil dan pemikirannya mulai matang (kritis). Dalam kehidupan beragama, remaja sudah mulai melibatkan diri membedakan agama sebagai ajaran dengan manusia sebagai penganutnya di antaranya ada yang shalih dan ada yang tidak shalih. Pengertian ini memungkinkan dia untuk tidak terpengaruh oleh orang-orang yang mengaku beragama, namun tidak melaksanakan ajaran agama atau perilakunya bertentangan dengan nilai agama. ( Yusuf, 2004:204-206)
Suatu  perkara yang sama akan menimbulkan perilaku yang berlainan bila terdapat pada orang-orang yang memiliki konsep diri yang berbeda. Konsep diri ada yang positif dan ada pula yang negatif. Konsep diri yang positif akan menimbulkan perilaku yang positif. Sedangkan konsep diri yang negatif akan menimbulkan perilaku yang negatif pula. Dalam bahasa agama islam, yang pertama disebut al-akhlaqul mahmudah (akhlak yang terpuji), dan kedua disebut al-akhlaqul mazmumah (akhlak yang tercela).
Al-Qur’an mengajarkan bahwa ada dua dasar pertimbangan dalam memilih, yaitu berdasarkan suka-tak suka atau berdasarkan baik-buruk. Al-Qur’an, serta akal sehat kita, mengajarkan bahwa pertimbangan baik-buruk lebih baik daripada pertimbangan berdasarkan suka-tak suka. ”Boleh jadi kamu membenci sesuatu padahal ia baik bagimu dan boleh jadi kamu menyukai sesuatu padahal ia buruk bagimu. Dan Allah mengetahui sedang kamu tidak mengetahui.” (Al-Baqarah [2]: 216).
Anak-anak cenderung memilih sesuatu berdasarkan pertimbangan suka-tak suka. Bila ia menyukai sesuatu, maka ia akan menginginkan dan berusaha untuk mendapatkannya. Bila ia tak menyukainya, maka ia akan berusaha menolaknya walaupun sesuatu itu mungkin baik untuknya. Orang yang memiliki karakter dewasa memilih dengan dasar pertimbangan yang berbeda. Mereka menimbang sesuatu berdasarkan baik buruknya. Walaupun ia cenderung pada sesuatu, ia akan mengindarinya sekiranya itu buruk bagi dirinya. Tentu saja ini merupakan sebuah gambaran yang ideal. Pada realitanya, banyak juga dijumpai orang-orang yang berusia dewasa tetapi melakukan hal-hal yang buruk hanya karena mereka menyukai hal-hal tersebut.( muthoin, 2010)
Setiap orang cenderung untuk bertingkah laku sesuai dengan konsep diri masing-masing, ini disebut dengan nubuwat yang dipenuhi sendiri (self-fulfilling prophecy). Jika anda berfikir bahwa anda adalah seorang pekerja yang baik, anda akan bekerja dengan tekun, datang on time, dan melaksanakan pekerjaan dengan sebaik-baiknya. Bila si Fulan merasa bahwa dirinya adalah seorang muslim yang taat, ia akan rajin beribadah, sering mengikuti pengajian agama, melakukan perintah agamanya dan meninggalkan larangannya. Demikianlah seterusnya. Anda berusaha hidup sesuai dengan label yang anda lekatkan pada diri anda. Hubungan konsep diri dengan perilaku, mungkin dapat disimpulkan dengan ucapan para penganjur berfikir positif: You dont think what you are, you are what you think.

D.      Penutup
Ø  Kesimpulan
Konsep diri sangat erat kaitannya dengan diri individu. Kehidupan yang sehat, baik fisik maupun psikologi salah satunya di dukung oleh konsep diri yang baik dan stabil.
Konsep diri juga berperan penting dalam perkembangan identitas pada remaja.
Agama (Islam) datang untuk mempertegas konsep diri yang positif bagi umat manusia. Manusia adalah makhluk yang termulia dari segala ciptaan Tuhan (Q.S.17:70). Karena itu, ia diberi amanah untuk memimpin dunia ini (Q.S.2:30). Walaupun demikian, manusia dapat pula jatuh kederjat yang paling rendah, kecuali orang-orang yang beriman dan beramal sholeh (Q.S.95:6). Keimanan akan membimbing kita untuk membentuk konsep diri yang positif, dan konsep diri yang positif akan melahirkan perilaku yang positif pula, yang dalam bahasa agama disebut amal sholeh. Tidak sedikit ayat-ayat yang terdapat dalam Al-Quran yang menyebut kata iman dan diiringi oleh kata amal (allazina amanu wa amilus-sholihat), ini bukan saja menunjukkan eratnya hubungan diantara keduanya, tetapi juga menunjukkan betapa pentingnya iman dan amal tersebut, sehingga nilai seseorang ditentukan oleh iman dan amalnya juga. Sesungguhnya Allah Taala tidak akan melihat kepada bentuk (rupa) kamu, tidak pula keturunan (bangsa) kamu, tidak juga harta kamu; tetapi , ia melihat kepada hati kamu dan amal perbuatan kamu. (H.R.At-Thabrani). Semua manusia adalah sama disisi Allah, yang lebih mulia hanyalah orang yang paling bertakwa (Q.S.49:13).
Ø   Saran
       Pada usia remaja, sebaiknya orang tua yang berhubungan langsung dengan individu tersebut memberikan perhatian khusus dalam perkembangan identittas dirinya dan memberikan pendidikan tentang agama islam yang berkaitan erat dengan perkembangan konsep diri remaja tersebut.




DAFTAR PUSTAKA

Helmi, A.F. 1999. Gaya Kelekatan dan Konsep Diri. Jurnal psikologi: Jogjakarta. Fakultas Psikologi UGM.
Hurlock, Elizabeth, B. 1980. Developmental Psychology fifth edition. Mc Graw Hill. United State of America.
Kozier, Barbara, Glenora. 1983. Fundamentals of Nursing-second edition. Addison Wesley: California.
Mulyono, Ninin, K. 2007. Proses Pencarian Identitas Diri Pada Remaja Muallaf. Skripsi Psikologi: Semarang. Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro.
Muthoin. 2010. Artikel pendidikan remaja. http://muthoin22.student.umm.ac.id/2010/05/02/pendidikan-remaja/
Murmanto, Melanie, D. 2007. Pembentukan Konsep Diri Siswa melalui Pembelajaran Partisipatif. Jurnal pendidikan penabur: Jakarta
Papalia, Diane, Olds, Feldman. 2008. Human development-perkembangan manusia. Mc Graw Hill. United State.
Pieter, Herri, Lubis, N.L. 2010. Pengantar Psikologi dalam Keperawatan. Kencana: Jakarta.
Rakhmat, Jalaluddin. 1993. Psikologi Komunikasi. PT. Remaja Rosdakarya: Bandung.
Ristianti, Amie. 2008.  Artikel Hubungan Antara Dukungan Sosial Teman Sebaya dengan Identitas Diri Pada Remaja di SMA Pusaka 1 Jakarta. Fakultas Psikologi Universitas Gunadarma.
Salbiah. 2003. Konsep Diri. USU digital library. Sumatra Utara. Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara.
Sarwono, Sarlito, W. 1982. Pengantar Umum Psikologi. Bulan Bintang: Jakarta.
Satgas Remaja IDAI. 2009. Artikel Masalah kesehatan mental emosional remaja. Buku Bunga Rampai Kesehatan Remaja.
Widodo, Prasetyo, B. 2006. Reliabilitas Dan Validitas Konstruk Skala Konsep Diri Untuk Mahasiswa Indonesia. Jurnal psikologi: Semarang. FK Universitas Diponegoro.
Yusuf, Syamsul. 2004. Psikologi Perkembangan Anak dan Remaja. PT.Remaja Rosdakarya: Bandung.
Zubair, Charis. 1997. Etika Rekayasa Menurut Konsep Islam. Pustaka Pelajar: Yogyakarta